Artikel
ULMWP LEMBAGA POLITIK RESMI MILIK RAKYAT DAN BANGSA WEST PAPUA BUKAN WADAH KOORDINATIF/DIASPORA
( ULMWP sama dengan ANC dulu Afrika Selatan. ULMWP itu sama dengan PLO di Palestina. ULMWP juga sama dengan Fretilin dulu di East Timor.)
Oleh Dr. Socratez Yoman,MA
Artikel ini ditulis untuk menjelaskan posisi, kedudukan dan otoritas dari United Liberation Movement for West Papua yang disingkat ULMWP. Dalam bahasa Indonesia disebut Persatuan Gerakan Kemerdekaan Papua Barat. ULMWP bukan organisasi diaspora. ULMWP juga bukan wadah koordinatif. ULMWP adalah lembaga politik resmi milik rakyat dan bangsa West Papua.
Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat atau United Liberation Movement for West Papua(ULMWP) didirikan di Vanuatu pada 7 Desember 2014 yang menyatukan tiga arus utama atau gerakan kemerdekaan politik utama yang memperjuangkan kemerdekaan Nugini Barat (Papua Barat), yaitu:
(1) Republik Federal Papua Barat (Federal Republic of West Papua) yang disingkat NRFPB);
(2) Koalisi Pembebasan Nasional Papua Barat (West Papua National Coalition for Liberation) yang disingkat WPNCL);
(3) Parlemen Nasional Papua Barat (National Parliament of West Papua) yang disingkat NPWP).
Jadi, yang jelas dan pasti, ULMWP itu sama dengan Africa National Congress (ANC). ANC didirikan pada 8 Januari 1912 di Bloemfontein, Afrika Selatan. Didirikan oleh John Langalibalele Dube, Sol Plaatje, Pixley ka Isaka Seme, Josiah Tshangana Gumede. Tujuan Partai ini ialah untuk melindungi dan memperjuangkan hak-hak kaum mayoritas kulit hitam di Afrika Selatan.
ULMWP juga setara dengan Palestine Liberation Organization (PLO) yang dibentuk pada 28 Mei 1964. Tujuannya wadah PLO ialah untuk memperjuangkan Kemerdekaan Palestina.
ULMWP juga setara dengan FRETILIN merupakan kependekan dari Frente Revolucionรกria de Timor-Leste Independente (bahasa Portugis) dan dalam bahasa Indonesia adalah Gerakan Pertahanan yang berjuang untuk Kemerdekaan Timor Timur dari Indonesia, Pendiri: Josรฉ Ramos Horta dan didirikan: 11 September 1974.
ULMWP bukan wadah Diaspora di Luar Negeri. ULMWP bukan wadah koordinatif. ULMWP memiliki otoritas dari mandat rakyat dan bangsa West Papua. ULMWP adalah rumah bersama, honai bersama dan perahu bersama seluruh rakyat dan bangsa West Papua. ULMWP ada bersama rakyat dan bangsa West Papua di Dalam Negeri dan di Luar Negeri.
Presiden RI, Ir. Joko Widodo memahami posisi dan kedudukan ULMWP seperti ANC, PLO dan FRETILIN dan karena itu pada 30 September 2019 Presiden menyatakan pemerintah Indonesia bersedia bertemu dengan Kelompok Pro-Referendum, yaitu ULMWP.
Semangat Presiden Republik Indonesia ini disambut baik oleh Dewan Gereja Papua (WPCC) dalam Surat Terbuka pada 7 Oktober 2020, sebagai berikut:
"Dan kepada Bapak Presiden Jokowi, kiranya Pancasila & Instrumen HAM bisa memberi Bapak pijakan untuk mewujudkan janji Bapak Presiden Jokowi untuk 'bertemu dengan kelompok Papua Pro-Referendum' tanggal 30 September 2019 lalu. Proposal inipun kami percaya, bukan hal baru, mengingatkan kita semua pada jejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam menyelesaikan Konflik Berdarah dengan Aceh."
Kesan penulis, Presiden RI, Ir. Joko Widodo mendapat informasi yang baik, benar dan terpercaya dari Menteri Luar Negeri RI dan Tim dari Departemen Luar Negeri RI tentang dinamika ULMWP di Luar Negeri. Ibu Menteri Luar Negeri RI, Ibu Retno Marzudi pernah menyatakan: "Kami pemerintah kewalahan menghadapi teman-teman dari Papua yang menggunakan logika narasi-narasi diplomasi baik seperti kita. Mereka pemain-pemain baru...Mereka ada di mana-mana..."
Sementara Jusuf Kalla mantan wakil Presiden RI masih menggunakan paradigma lama dan juga masih pada narasi-narasi sudah tidak relevan dengan dinamika dan kemajuan-kemajuan yang dicapai ULMWP di fora internasional. Jusuf Kalla masih hidup dalam Status Quo dan tetap berfikir tentang cara-cara devide et empira atau politik adu domba. Terlihat dengan pernyataan Jusuf Kalla pada 14 Oktober 2020, sebagai berikut.
"Kalau di Aceh ada satu garis komando yang jelas. Jadi begitu kita ngomong di level atas maka di bawah pasti akan patuh. Berbeda halnya dengan kelompok bersenjata di Papua, ada banyak faksi di sana dan garis komandonya tidak jelas. Antara satu kabupaten atau kampung lainnya tidak terhubung garis komando."
Salah satu persyaratan atau kriteria utama untuk memainkan peran sebagai mediator, yaitu orang yang benar-benar faham seluruh dinamika dan sejarah perjuangan rakyat dan bangsa West Papua sejak 1960-an sampai 2020, dan lebih khusus orang yang mengerti tentang ULMWP.
Pemikiran Jusuf Kalla ini sama dengan paradigma TNI-Polri yang selama ini selalu berpegang pada narasi statis dan semu, yaitu NKRI harga mati, lebih parah lagi TNI-Polri memproduksi mitos-mitos murahan seperti Kelompok Kriminal Bersenjta (KKB). Dan juga yang paling parah lagi ialah Menkopolhukam, Mahfud MD yang selama ini menjadi pembuat "kegaduhan" perpolitikan di Indonesia dan lebih khusus di Papua.
Rakyat dan bangsa West Papua tidak terkejut kalau mitos-mitos palsu itu diciptakan Indonesia sebagai bangsa kolonial modern. Karena sejarah itu selalu berputar ulang tapi pada saat yang berbeda, orang yang berbeda dan bangsa yang berbeda.
Contohnya, Indonesia Soekarno dan kawan-kawannya yang melawan kolonial Belanda, ia dan kawan-kawannya distigma seperatis oleh kolonial Belanda. Pada saat Nelson Mandela memperjuangkan hak kesetaraan dan keadilan dan martabat kemanusian bangsa Afrika Selatan distigma komunis oleh kolonial Apartheid. Mahadma Gandhi berjuang untuk martabat dan nasib bangsa di India distigma pembela dan penasihat masyarakat kelas coole.
Seperti kisah pemimpin ini, Pemerintah Indonesia, terutama Menkopolhukam Mahfud MD, TNI-Polri dan Jusuf Kalla berputar-putar dalam satu lingkaran spiral kekerasan dengan memproduksi mitos-mitos seperti KKB yang tidak relevan lagi. Pada saat yang sama ULMWP sudah berada di di forum-forum terhormat di MSG, PIF dan ACP, bahkan di forum PBB.
ULMWP diterima dan diakui serta didukung penuh oleh rakyat dan bangsa West Papua, MSG, PIF dan ACP.
ULMWP juga didukung oleh Dewan Gereja Papua (WPCC) dan 57 Pastor Katolik Pribumi yang lahir, besar dan bertumbuh dalam dan dari rahim ibu-ibu dari Papua.
Dewan Gereja Papua (WPCC) pada 17 Februari 2019 dengan resmi memberikan rekomendasi kepada Dewan Gereja Dunia (WCC) untuk mendampingi dan mendukung perjuangan rakyat dan bangsa West Papua melalui ULMWP.
Artinya, Dewan Gereja Papua (WPCC), 57 Pastor Katolik Pribumi Papua, Konferensi Dewan Gereja Pasifik (PCC) dan Dewan Gereja Dunia (WCC) tetap berdiri bersama umat Tuhan direndahkan martabat kemanusiaan mereka dengan mitos-mitos atau stigma-stigma yang tidak pantas dari penguasa Indonesia.
Ini tugas dan panggilan suci Dewan Gereja Papua, 57 Pastor Katolik Pribumi Papua, PCC dan WCC untuk melindungi, menjaga dan menggembalakan umat Tuhan. Ada tugas dari Tuhan Yesus Kristus kepada gereja-Nya. "Gembalakanlah domba-domba-Ku" (Yohanes 21:15-19). Bagian lain Tuhan Yesus berkata: "Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan" (Yohanes 10:10).
Uskup Dom Carlos Filipe Ximenes,SDB, dengan tepat mengatakan:
"...dalam realitas kalau sudah menyangkut pribadi manusia, walaupun dengan alasan keamanan nasional, Gereja akan memihak pada person karena pribadi manusia harganya lebih tinggi daripada keamanan negara atau kepentingan nasional." (Frans Sihol Siagian & Peter Tukan. Voice the Voiceless, 1977:127).
Dewan Gereja Papua (WPCC) meminta Negara Republik Indonesia segera menyelesaikan 4 akar persoalan Papua. Untuk itu Dewan Gereja Papua (WPCC) kembali menegaskan Surat Pastoral tertanggal 26 Agustus 2019 dan 13 September 2019, sebagai berikut.
"Kami meminta keadilan dari pemerintah Republik Indonesia untuk menyelesaikan persoalan Papua yang sudah ditunjukkan oleh Indonesia untuk GAM di Aceh. Wakil Presiden Yusuf Kalla berperan secara aktif mendukung dialog dengan GAM yang dimediasi Internasional. Oleh karena itu, kami menuntut bahwa pemerintah Indonesia berdialog dengan ULMWP yang dimediasi pihak ketiga yang netral." (Isi Surat tertanggal, 26 Agustus 2019)
"Mendesak Pemerintah Indonesia segera membuka diri berunding dengan ULMWP sebagaimana Pemerintah Indonesia telah menjadikan GAM di ACEH sebagai Mitra Perundingan yang dimediasi pihak ketiga; sebagai satu-satunya solusi terbaik untuk menghadirkan perdamaian permanen di Tanah Papua, sesuai dengan seruan Gembala yang pada 26 Agustus 2019 yang telah dibacakan dan diserahkan langsung kepada Panglima TNI dan KAPOLRI di Swiss-Bell Hotel Jayapura." (Isi surat 13 September 2019).
Pada 21 Juli 2020 dari 57 Pastor Katolik Pribumi Papua menyatakan: KAMI MEMINTA KEPADA PEMERINTAH INDONESIA UNTUK MENGAKHIRI KONFLIK BERKEPANJANGAN DI TANAH LELUHUR KAMI-PAPUA DENGAN CARA DIALOG. Sejauh yang kami lihat dan dengar dan ikuti di media sosial, semua elemen Masyarakat akar Rumput di Papua, mereka meminta Pemerintah Indonesia untuk BERDIALOG DENGAN ULMWP yang DIMEDIASI OLEH PIHAK KETIGA yang NETRAL, sebagaimana yang pernah dilakukan dengan GAM di Aceh.
Adapun seruan-seruan Pimpinan Gereja dan Agama di Papua secara terus-menerus kepada Pemerintah Republik Indonesia berunding dengan rakyat Papua yang dimediasi pihak ketiga di tempat netral.
Ada seruan bersama dari Persekutuan Gereja-gereja Papua (PGGP) sebanyak 33 Sinode pada 28 Juli 2009 sebagai berikut:
"Pimpinan Gereja-gereja di Tanah Papua menyerukan kepada pemerintah pusat agar segera melaksanakan Dialog Nasional dengan rakyat Papua untuk menyelesaikan masalah-masalah di Tanah secara bermartabat, adil, dan manusiawi yang dimediasi pihak ketiga yang lebih netral."
Para Pimpinan Gereja di Tanah Papua pada 18 Oktober 2008 menyatakan keprihatinan: " Untuk mencegah segala bentuk kekerasan dan agar orang Papua tidak menjadi korban terus-menerus, kami mengusulkan agar PEPERA 1969 ini diselesaikan melalui suatu dialog damai. Kami mendorong pemerintah Indonesia dan orang Papua untuk membahas masalah PEPERA ini melalui dialog yang difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral. Betapapun sensitifnya, persoalan Papua perlu diselesaikan melalui dialog damai antara pemerintah dan orang Papua. Kami yakin bahwa melalui dialog, solusi damai akan ditemukan."
Konferensi Gereja dan Masyarakat Papua pada 14-17 Oktober 2008 menyerukan: "Pemerintah Pusat segera membuka diri bagi suatu dialog antara Pemerintah Indonesia dengan Orang Asli Papua dalam kerangka evaluasi Otonomi Khusus No.21 tahun 2001 tentang OTSUS dan Pelurusan Sejarah Papua. Menghentikan pernyataan-pernyataan stigmatisasi 'separatis, TPN, OPM, GPK, makar' dan sejenisnya yang dialamatkan kepada orang-orang asli Papua dan memulihkan hak dan martabatnya sebagai manusia ciptaan Tuhan sehingga azas praduga tak bersalah harus sungguh-sungguh ditegakkan."
Gereja-gereja di Tanah Papua pada 3 Mei 2007 menyatakan: "Pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua menjadi masalah baru dan mengalami kegagalan maka solusinya dialog yang jujur dan damai seperti penyelesaian kasus Aceh. Dialog tersebut dimediasi oleh pihak ketiga yang netral dan yang diminta dan disetujui oleh orang asli Papua dan Pemerintah Indonesia."
Pimpinan Agama dan Gereja dalam Loka Karya Papua Tanah Damai pada 3-7 Desember 2007 mendesak Pemerintah Indonesia segera menyelesaikan perbedaan ideologi di Papua dengan sebuah dialog yang jujur dan terbuka antara Pemerintah Pusat dan Orang Asli Papua dengan melibatkan pihak ketiga yang netral dan disetujui oleh kedua belah pihak."
Di era keterbukaan ini, tidak ada yang tersembunyi, penguasa Indonesia dan TNI-Polri jangan bersembunyi dengan mitos-mitos murahan seperti KKB. Sebagai membusuk dalam tubuh Indonesia, yaitu empat akar persoalan Papua sudah berhasil ditemukan dan dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008).
Empat akar persoalan sebagai berikut:
1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
Kesimpulan dari uraian ini, bahwa Rakyat dan bangsa West Papua dengan cara cerdas membangun rumah bersama, honai bersama dan perahu bersama, yaitu United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dengan meningkatkan diplomasi, lobi dengan menggunakan narasi-narasi modern dengan memegang data, fakta dan bukti pelanggaran berat HAM Indonesia selama 57 tahun.
ULMWP bukan wadah diaspora dan wadah koordinatif. ULMWP ada wadah politik resmi milik rakyat dan bangsa West Papua.
Jadi, sudah waktunya RI-ULMWP duduk berunding. Presiden RI, Ir. Joko Widodo pada 30 September 2019 sudah mulai membuka pintu untuk perundingan dengan ULMWP atau Pro-Referendum.
Selamat membaca.
Ita Wakhu Purom, 17 Oktober 2020
Penulis:
1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua.
2. Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC).
3. Anggota Baptist World Alliance (BWA).
__________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar