Realitas/Fakta
TETESAN DARAH, CUCURAN AIR MATA, DAN PENDERITAAN RAKYAT NDUGA BELUM BERAKHIR
"Manusia Hidup untuk Menghidupkan Orang Lain"--dalam bahasa Minahasa: SI TOU TIMOU TUMOU TOU" (Sam Ratulangi).
Oleh Dr. Socratez Yoman,MA
Saudara-saudara, apakah di Indonesia ini sudah tidak ada penguasa yang memiliki hati nurani kemanusiaan, keadilan, menghormati martabat kemanusiaan dan mencintai perdamaian?
Apakah Sila kedua dari Pancasila: "Kemanusiaan yang Adil dan Berdab" sudah dihapus dari NKRI?
Mengapa penguasa Indonesia tidak menghormati kemanusiaan kami?
Benarlah, keadilan dan martabat kemanusiaan tidak ditemukan dalam bangsa kolonial yang berwatak rasis dan berkultur militer seperti penguasa kolonial Indonesia.
Kelihatannya, ungkapan kalimat yang sangat indah seperti bahasa Minahasa: "SI TOU TIMOU TUMOU TOU" tidak berlaku di Tanah Papua dari Sorong-Merauke. Penguasa Pemerintah Republik Indonesia dan TNI-POLRI melihat orang asli Papua bukan sebagai manusia, tetapi dilihat sebagai hewan buruan yang harus ditembak mati dan dimusnahkan dengan ringan tangan dan ringan hati dan tanpa merasa berdosa dan salah.
"Ada kesan bahwa orang-orang Papua mendapat perlakuan seakan-akan mereka belum diakui sebagai manusia.....“Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia.”
“…kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab, sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata tajam.”
(Sumber: Franz: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme Bunga Rampai Etika Politik Aktual, 2015: 255, 257).
Sementara Pastor Frans Lieshout melihat bahwa "Papua tetaplah luka bernanah di Indonesia." (Sumber: Pastor Frans Lieshout OFM: Gembala dan Guru Bagi Papua, (2020:601).
Ada tragedi kemanusiaan dan pelanggaran berat HAM terus-menerus dilakukan oleh pemerintah dan TNI-POLRI di Nduga, Papua. Ada beberapa fakta sebagai berikut.
Pada Rabu, 28 September 2020 aparat keamanan TNI menewaskan dua warga sipil di distrik Bulmu-Yalma, kabupaten Nduga, Papua. Warga sipil yang tewas di tangan TNI, yaitu: Tepania Gwijangge (44 tahun) dan Anle Gwijangge (28 tuhun), dan
jenazah mereka dibakar di dalam rumah dan tulang-tulang mereka dibuang di kali oleh pasukan TNI yang bertugas di Pos Mbua-Dal.
Pada 20 September 2020 Tentara Nasional Indonesia (TNI) menembak mati Elias Karunggu (40) dan Selu Karunggu (20) di pinggir sungai Kenyem, di kampung Meganggorak, Nduga. Alasannya ayah dan anaknya diduga oleh TNI sebagai anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB).
Pada 19 Desember 2018, TNI menembak mati Pendeta Geyimin Nigiri (83) Tokoh Gereja dan Perintis Gereja Kemah Injil di Kabupaten Nduga. TNI menembak mati dan dibakar jenazah Geyimin dengan menyiram minyak tanah dibelakang halaman rumahnya.
Ada kisah seorang ibu hamil yang sangat menyedihkan dan menyentuh hati nurani kita semua akibat Operasi Indonesia Militer di Nduga.
“Saya melahirkan anak di tengah hutan pada 4 Desember 2018. Banyak orang berpikir anak saya sudah meninggal. Ternyata anak saya masih bernafas. Anak saya sakit, susah bernafas dan batuk berdahak. Suhu di hutan sangat dingin, jadi waktu kami berjalan lagi, saya merasa anak bayi saya sudah tidak bergerak. Kami pikir dia sudah meninggal. Keluarga sudah menyerah. Ada keluarga minta saya buang anak saya karena dikira dia sudah mati.
Tetapi saya tetap mengasihi dan membawa anak saya. Ya, kalau benar meninggal, saya harus kuburkan anak saya dengan baik walaupun di hutan. Karena saya terus membawa bayi saya, saudara laki-laki saya membuat api dan memanaskan daun pohon, dan daun yang dipanaskan itu dia tempelkan pada seluruh tubuh bayi saya. Setelah saudara laki-laki tempelkan daun yang dipanaskan di api itu, bayi saya bernafas dan minum susu.
Kami ketakutan karena TNI terus menembak ke tempat persembunyian kami. Kami terus berjalan di hutan dan kami mencari gua yang bisa untuk kami bersembunyi. Jadi, saya baru tiba dari Kuyawagi, Kabupaten Lanny Jaya. Kami berada di Kuyawagi sejak awal bulan Desember 2018. Sebelum di Kuyawagi, kami tinggal di hutan tanpa makan makanan yang cukup selama beberapa minggu. Kami sangat susah dan menderita di atas tanah kami sendiri.” (Sumber: Suara Papua, 8 Juni 2019).
Dalam operasi militer di Nduga, TNI menembak mati 5 orang sipil pada 20 September 2019 di Gua Gunung Kenbobo, Distrik Inye dan mayat mereka dikuburkan dalam satu kuburan. Nama-nama korban tewas: (1) Yuliana Dorongi (35/Perempuan), (2) Yulince Bugi (25/ Perempuan; (3) Masen Kusumburue (26/ Perempuan; (4) Tolop Bugi (13/ Perempuan; (5) Hardius Bugi (15/L). (Sumber resmi: Theo Hesegem, Yayasan Keadilan dan Perdamaian Keutuhan Manusia Papua).
Dalam operasi milier Indonesia di Nduga-Papua selama 1 tahun dan 10 bulan sejak 2 Desember 2018-September 2020, orang asli Papua telah meninggal 261 orang. Jumlah ini ada yang ditembak TNI, meninggal di hutan karena kelaparan dan meninggal di tempat penggungsian.
Latar belakang operasi militer di Nduga.
Pada 2 Desember 2018 dimulainya operasi militer di Nduga. Perintah operasi militer dari Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo setelah 16 orang karyawan PT Istaka Karya ditembak mati pada 2 Desember 2018 oleh pasukan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) pimpinan Egianus Kogeya di Kali Yigi-Kali Aurak, Distrik Yigi, Kabupaten Nduga, West Papua.
Untuk mengejar pelaku penembakan ini, Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo mengeluarkan perintah operasi militer di Nduga. Perintah Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo sebagai berikut:
"Tangkap seluruh pelaku penembakan di Papua. Tumpas hingga akar” (Sumber: DetikNews/5/12/2028).
Perintah Presiden didukung oleh Wakil Presiden H.Jusuf Kalla dan ia memerintahkan: “Kasus ini ya polisi dan TNI operasi besar-besaran, karena ini jelas mereka, kelompok bersenjata yang menembak.” (Sumber: Tribunnews.com/6/12/2018).
Ketua DPR RI Bambang Soesatyo juga memperkuat Perintah operasi militer dari Presiden Republik Indonesia. “…DPR usul pemerintah tetapkan Operasi Militer selain perang di Papua.” (Sumber: Kompas.com/13/12/2018).
Perintah operasi militer diperkuat oleh
Menkopolhukam, H. Dr. Wiranto: “Soal KKB di Nduga Papua, kita habis mereka.”
(Kompas.com/13/12/2018).
Kekerasan dan kejahatan kemanusiaan ini harus diakhiri. Jalan penyelesaian persoalan tragedi kemanusiaan terpanjang di Asia dan Pasifik yang dialami Orang Asli Papua ini adalah perundingan damai, maka para 57 Pastor Katolik Pribumi Papua dan Dewan Gereja Papua (WPCC) berdiri dengan posisi suara kenabian sebagai berikut:
1. Pada 21 Juli 2020 dari 57 Pastor Katolik Pribumi Papua menyatakan: KAMI MEMINTA KEPADA PEMERINTAH INDONESIA UNTUK MENGAKHIRI KONFLIK BERKEPANJANGAN DI TANAH LELUHUR KAMI-PAPUA DENGAN CARA DIALOG. Sejauh yang kami lihat dan dengar dan ikuti di media sosial, semua elemen Masyarakat akar Rumput di Papua, mereka meminta Pemerintah Indonesia untuk BERDIALOG DENGAN ULMWP yang DIMEDIASI OLEH PIHAK KETIGA yang NETRAL, sebagaimana yang pernah dilakukan dengan GAM di Aceh.
2. Dewan Gereja Papua meminta Dewan Gereja Dunia (WCC) untuk mendorong dialog yang bermartabat dan damai antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Persatuan Pembebasan untuk Papua Barat (ULMWP) dalam menyelesaikan masalah sejarah politik Pepera 1969 yang melibatkan pihak ketiga yang lebih netral." (Surat tertanggal, 16 Februari 2019).
3. Dewan Gereja Papua meminta keadilan dari pemerintah Republik Indonesia untuk menyelesaikan persoalan Papua yang sudah ditunjukkan oleh Indonesia untuk GAM di Aceh. Wakil Presiden Yusuf Kalla berperan secara aktif mendukung dialog dengan GAM yang dimediasi Internasional. Oleh karena itu, kami menuntut bahwa pemerintah Indonesia berdialog dengan ULMWP yang dimediasi pihak ketiga yang netral. (Isi dari Surat tertanggal, 26 Agustus 2019)
4. Dewan Gereja Papua mendesak Pemerintah Indonesia segera membuka diri berunding dengan ULMWP sebagaimana Pemerintah Indonesia telah menjadikan GAM di ACEH sebagai Mitra Perundingan yang dimediasi pihak ketiga; sebagai satu-satunya solusi terbaik untuk menghadirkan perdamaian permanen di Tanah Papua, sesuai dengan seruan Gembala yang pada 26 Agustus 2019 yang telah dibacakan dan diserahkan langsung kepada Panglima TNI dan KAPOLRI di Swiss-Bell Hotel Jayapura. (Isi dari surat 13 September 2019).
Solusi terhormat dan manusiawi adalah pemerintah Indonesia menyelelesaikan 4 akar masalah. Empat akar persoalan Papua sudah berhasil ditemukan dan dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008).
Empat akar persoalan Papua sebagai berikut:
1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
Ita Wakhu Purom, 22 Oktober 2020
Penulis:
1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua.
2. Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC).
3. Anggota Baptist World Alliance (BWA).
Diteruskan oleh : Suara Pribumi@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar